1. Mengenal Etika Profesi
Kanter (2001) memberikan pengertian etika profesi adalah norma-norma, syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh sekelompok orang yang disebut kalangan profesional.
Karena kelompok profesional merupakan kelompok yang berkeahlian dan berkemahiran yang diperoleh melalui proses pendidikan dan pelatihan yang berkualitas dan berstandar tinggi yang dalam menerapkan semua keahlian dan kemahirannya yang tinggi itu hanya dapat dikontrol dan dinilai dari dalam oleh rekan sejawat, sesama profesi sendiri.
Kehadiran organisasi profesi dengan perangkat “built-in mechanism” berupa kode etik profesi dalam hal ini jelas akan diperlukan untuk menjaga martabat serta kehormatan profesi, dan di sisi lain melindungi masyarakat dari segala bentuk penyimpangan maupun penyalah-gunaan kehlian (Wignjosoebroto, 1999).
Tanpa
etika profesi, apa yang semula dikenal sebagai sebuah profesi yang terhormat
akan segera jatuh terdegradasi menjadi sebuah pekerjaan pencarian nafkah biasa
(okupasi) yang sedikitpun tidak diwarnai dengan nilai-nilai idealisme dan
ujung-ujungnya akan berakhir dengan tidak-adanya lagi respek maupun kepercayaan
yang pantas diberikan kepada para elite profesional ini.
2. Etika Profesi Jurnalistik
Jurnalistik merupakan cara kerja media massa dalam mengelola dan menyajikan informasi pada masyarakat,yang bertujuan untuk menciptakan komunikasi yang efektif, dalam arti informasi yang disebarluaskan merupakan informasi yang diperlukan. Jurnalistik berasal dari bahasa asing yaitu diurnal dan dalam bahasa inggris journal yang berarti catatan harian.
Etika
jurnalistik adalah Standart aturan perilaku dan moral yang mengikat para
jurnalistik dalam melaksanakan pekerjaanya. Etika jurnalistik ini sangat
penting dimana bukan hanya mencerminkan standart kualitas jurnalistik namun
untuk menghindari dan melindungi masyarakat dari kemungkinan dmpak yang
merugikan dari tindakan atu perilaku keliru dari seorang jurnalis.
3. Kode Etik Jurnalistik dan Sanksi
Pelanggarannya
Berdasarkan
Surat Keputusan Dewan Pers №03 / SK-DP / III / 2006 tentang Kode Etik
Jurnalistik, terdapat pasal-pasal di dalamnya, pasal-pasal tersebut adalah:
Pasal
1
“Wartawan
Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan
tidak beritikad buruk.”
Penafsiran dari Pasal 1, yaitu (a) independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers, (b) akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi, © berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara, dan (d) tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata- mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.
Pasal
2
“Wartawan
Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas
jurnalistik.”
Penafsiran dari Pasal 2, yaitu cara-cara yang profesional adalah: (a) menunjukkan identitas diri kepada narasumber, (b) menghormati hak privasi, © tidak menyuap, (d) menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya, (e)rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang, (f) menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara, (g) tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri, (h) penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.
Pasal
3
“Wartawan
Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak
mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak
bersalah.”
Penafsiran dari Pasal 3, yaitu (a) menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu, (b) berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional, © opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta, (d) asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.
Pasal
4
“Wartawan
Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.”
Penafsiran dari Pasal 4, yaitu (a) bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi, (b) fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk, © sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan, (d) cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata- mata untuk membangkitkan nafsu birahi, dan (e) dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.
Pasal
5
“Wartawan
Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila
dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.”
Penafsiran dari Pasal 5, yaitu (a) identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak dan (b) anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah. Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Pasal
6
“Wartawan
Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.”
Penafsiran dari Pasal 6, yaitu (a) menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum dan (b) suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.
Pasal
7
“Wartawan
Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia
diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo,
informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.”
Penafsiran dari Pasal 7, yaitu (a) hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya, (b) embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber, © informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya, dan (d) “Off the record” adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.
Pasal
8
“Wartawan
Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau
diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit,
agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah,
miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.”
Penafsiran dari Pasal 8, yaitu (a) prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas dan (b) diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.
Pasal
9
“Wartawan
Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali
untuk kepentingan publik.”
Penafsiran dari Pasal 9, yaitu (a) menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati dan (b) kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.
Pasal
10
“Wartawan
Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan
tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan
atau pemirsa.”
Penafsiran dari Pasal 10, yaitu (a) segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar dan (b) permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.
Pasal
11
“Wartawan
Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.”
Penafsiran
dari Pasal 11, yaitu (a) hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang
untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta
yang merugikan nama baiknya, (b) hak koreksi adalah hak setiap orang untuk
membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang
dirinya maupun tentang orang lain, dan © proporsional berarti setara dengan
bagian berita yang perlu diperbaiki.
Sanksi
pelanggarannya
Dalam
masalah terkait pelanggaran, biasanya apabila penyimpangan itu dilakukan secara
tidak sengaja, maka pihak pers yang menerbitkannya akan langsung meralat
kesalahan yang telah mereka lakukan dan memperbaiki diri (instropeksi) agar
tidak terulang kembali. Namun sebaliknya, apabila pelanggaran atau penyimpangan
kode etik jurnalistik tersebut dilakukan secara sengaja dan tidak ada pengakuan
dari pihak yang melanggar, maka pihak yang berwenang akan memberikan sanksi
yang tegas seperti misalnya larangan broadcast dan lain-lain.
Pers
yaitu jurnalis yang melakukan pelanggaran atau penyimpangan secara sengaja,
akan mendapatkan bentuk hukuman atau sanksi yang bisa diberikan oleh dewan
kehormatan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), bentuk hukuman untuk jurnalis
yang melakukan pelanggaran kode etik jurnalistik yaitu: (1) tahap pertama
diberikannya peringatan biasa, (2) tahap kedua diberikan-nya peringatan keras,
dan (3) tahap ketika dilakukannya skorsing terhadap jurnalis dari keanggotaan
PWI dengan durasi 2 tahun berturut-turut.
4. Artikel yang Berkaitan Dengan
Etika Profesi Jurnalistik (Kasus Pelanggaran Etika Profesi Jurnalistik)
Dewan Pers: "RCTI"
Langgar Kode Etik Jurnalistik
Dewan
Pers memutuskan, stasiun televisi RCTI melanggar Pasal 1 dan Pasal 3 Kode Etik
Jurnalistik soal kejelasan sumber informasi terkait pemberitaan soal
"Dugaan Pembocoran Materi Debat Capres" yang ditayangkan dalam
program Seputar Indonesia Sore pada 11 Juni 2014, Seputar Indonesia Malam pada
11 Juni 2014, dan Seputar Indonesia Pagi pada 12 Juni 2014. Pada berita
tersebut, RCTI mengatakan adanya pembocoran materi debat calon presiden yang
menguntungkan pasangan capres-cawapres Joko "Jokowi" Widodo dan Jusuf
Kalla. Dewan Pers menilai, sumber pemberitaan tersebut tidak jelas. Stasiun
televisi milik Hary Tanoesoedibjo, yang mendukung pasangan capres-cawapres saat
itu, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, dinilai tidak memiliki dokumen yang kuat
untuk mendukung tudingannya. "Konfirmasi yang sudah dilakukan oleh teradu
(RCTI) kepada Komisioner KPU dan tim sukses Jokowi-JK tidak dapat menutupi
lemahnya sumber informasi atau data yang dapat menjadi landasan teradu dalam
memberitakan isu bocornya materi debat capres," demikian isi putusan Dewan
Pers No 27/PPD-DP/XI/2014 yang ditandatangani Ketua Dewan Pers Bagir Manan,
Jumat (21/11/2014). Dewan Pers mengatakan, seharusnya RCTI melakukan verifikasi
terlebih dahulu terhadap informasi tersebut sebelum menayangkannya demi
memenuhi prinsip keberimbangan. "Penayangan berulang-ulang berita yang
tidak jelas sumbernya tidak sesuai dengan prinsip jurnalistik yang
mengedepankan akurasi, independensi, dan tidak beriktikad buruk," kata
Bagir dalam putusannya. Dewan Pers pun merekomendasikan RCTI untuk mewawancarai
Komisioner KPU Pusat selaku prinsipal, dan menyiarkannya sebagai hak jawab.
RCTI juga dituntut meminta maaf kepada publik dan menyiarkan pernyataan
penilaian dan rekomendasi Dewan Pers. Hal ini diputuskan setelah adanya laporan
dari Dandhy D Laksono selaku warga, dan Raymond Arian Rondonuwu selaku karyawan
RCTI ke Dewan Pers pada 16 Juli 2014. Sebelum memutuskan, Dewan Pers telah
mengundang Dandhy, Raymond, dan pihak RCTI pada 5 September 2014 untuk
memberikan penjelasan dan klarifikasi.
(written by, Bilqismah Mawarni Safitri)
Reference
Kanter,
E.Y, 2001, Etika Profesi Hukum, Penerbit Storia Grafika: Jakarta.
http://eprints.undip.ac.id/4907/1/Etika_Profesi.pdf
https://medium.com/@marsileaaa/kode-etik-jurnalistik-b2467608f857
https://nasional.kompas.com/read/2014/11/22/00575771/Dewan.Pers.RCTI.Langgar.Kode.Etik.Jurnalistik
0 komentar:
Posting Komentar