Kearifan Lokal: Awig- awig as a model of Balinese customary law

I'm baaaaaack! it's been crazy month, everyone's is so can't wait for holiday season and it seem everyone press a fast forward button, everything is on fast mode. Bahkan dibulan ini my friends has already passed the semester exam, WOW!!
Tapi nggak apa- apa kita lakukan perlahan, kita semua menginginkan liburan, yeahh.. untuk tulisanku kali ini masih sama.. masih mencangkup tugas. Mungkin kalau nggak ada tugas softskill ini huftt.. udah nggak kefikiran nulis blog dehh saking banyaknya tugas, so thanks my college I have a softskill course that deals with blog.
Masih membicarakan tentang daerah, untuk kali ini tugasnya kearifan lokal. Yang menarik untuk ditarik dari materi ini we want discuss about awig- awig. Ada yang udah tau belum apa itu awig- awig? Kalau belum keep read it!

#Kearifan Lokal
Kearifan lokal merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari bahasa masyarakat itu sendiri. Kearifan local biasanya diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi melalui cerita dari mulut ke mulut.
Awig – awig, yaitu hukum adat yang disusun dan harus ditaati oleh krama  (masyarakat) desa adat/pekraman di Bali untuk mencapai Tri Sukerta. Tri Sukerta antara lain, Sukerta tata Parahyangan (keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan), Sukerta tata Pawongan (keharmonisan hubungan manusia dengan manusia), dan Sukerta tata Palemahan (keharmonisan hubungan manusia dengan lingkungannya), yang merupakan perwujudan dari ajaran Tri Hita Karana.
Untuk lebih singkatnya Awig-Awig memuat aturan adat yang harus dipenuhi setiap warga masyarakat Bali, dan sebagai pedoman dalam bersikap dan bertindak terutama dalam berinteraksi dan mengelola sumber daya alam & lingkungan. Kearifan lokal yang satu ini tidak hanya ada di Bali loh, tapi ada juga di Lombok Barat.

#Fungsi Awig-Awig Desa Adat
Awig-awig atau instrumen hukum adat yang berlaku bagi masyarakat desa adat di Bali merupakan pengikat antara sesama masyarakat desa adat serta antara masyarakat desa adat dengan wilayah desa adat itu sendiri. Awig-awig ini sangat unik karena merupakan hasil dari kesepakatan dari masyarakat desa adat. Apa yang menjadi isi dari awig-awig merupakan kesepakatan yang diambil secara sadar dan suka rela oleh masyarakat desa adat. Tidak ada sistem voting, melainkan musyawarah untuk mencapai kesepakatan. Nilai kesepakatan inilah yang paling unik sekaligus menjadi kunci dari pelaksanaan awig-awig ini. 
Awig-awig ada yang berbentuk tertulis dan ada yang hanya berupa kesepakatan dalam bentuk lisan. Awig-awig dalam bentuk tertulis disebut Awig-Awig Smerthi sedangkan yang dalam bentuk lisan disebut Awig-awig Sruthi (maafkan bila ada salah penulisan), serupa dengan bentuk Kitab Suci Weda. Semua bentuk awig-awig tersebut disepakati dalam rapat antar masyarakat desa adat yang disebut sangkepan. Awig-awig yang sudah siap dilaksanakan tanpa adanya sanksi disebut Pesuaran sedangkan awig-awig yang sudah disepakati dan memiliki sanksi disebut Pararem. Pararem ini, menurut MUDP Provinsi Bali, kadang diartikan sebagai bentuk turunan dari Awig-Awig oleh banyak desa adat di Bali meskipun sejatinya Pararem dan Awig-Awig itu berada pada level yang sama.
Keanggotaan masyarakat desa adat bersifat sukarela. Anda bisa menjadi anggota desa adat dimana anda tinggal, bisa juga tidak, tidak ada paksaan sama sekali. Oleh karenanya tidak ada kewajiban bagi seseorang untuk tunduk pada awig-awig desa adat tempat dia tinggal selama dia bukan bagian dari masyarakat desa adat tersebut. Karena adanya celah ini maka pembangunan apapun yang terjadi di dalam Desa Adat tidak dapat dikontrol sepenuhnya oleh Desa Adat kecuali untuk pembangunan di dalam aset Desa Adat itu sendiri.
Apabila pembangunan dilakukan di atas lahan dengan sertifikat hak milik namun berada di dalam wilayah desa adat, desa adat tidak dapat mengintervensi pembangunan yang dilakukan di atas lahan tersebut. Maka tidak heran bila banyak bangunan-bangunan dan aktivitas komersil berdiri berdampingan dengan Kawasan Tempat Suci dan Kawasan Suci. Untuk mengendalikan pembangunan disekitar Kawasan Tempat Suci dan Kawasan Suci tidak dapat mengandalkan awig-awig karena kelemahan di atas. Oleh karenanya Pemerintah Provinsi Bali kemudian memasukkan pengaturan radius kesucian bagi Kawasan Tempat Suci dan Kawasan Suci di Bali dalam RTRW Provinsi Bali sebagai payung hukum formal pengendalian pembangunan di sekitarnya.

#Awig-Awig Desa Adat Bersifat Pasif
Kembali lagi kepada masalah kelemahan awig-awig. Awig-awig merupakan instrumen hukum adat yang bersifat pasif, yang artinya awig-awig hanya akan berfungsi sebagai instrumen hukum ketika terjadi pengaduan dari masyarakat desa adat terkait dengan pelanggaran kesepakatan. Selama tidak ada pengaduan atau keluhan dari masyarakat maka awig-awig tersebut tidak dapat dijalankan sebagai sebuah instrumen hukum. Oleh karenanya selama pembangunan yang ada tidak mendapatkan keluhan dari masyarakat desa adat, maka pembangunan apapun itu dapat berlangsung tanpa menyalahi kesepakatan yang ada di dalam awig-awig.
Lalu bagaimana apabila terjadi pelanggaran kesepakatan atau kesepakatan ternyata tidak dapat digunakan lagi? apabila terjadi pelanggaran kesepakatan maka pengaduan disampaikan dalam sangkepan dan disanalah dibacakan awig-awig yang telah disepakati. Penyelesaian sengketa atau pelanggaran dilakukan dengan kesepakatan pula dan bisa jadi menjadi substansi baru dalam awig-awig, bisa dalam bentuk Pararem atau Pesuaran. Begitu juga dengan kesepakatan yang dianggap sudah usang dapat diganti dengan kesepakatan baru. Konsep ini kita kenal dengan konsep Desa, Kala, Patra. Konsep ini menekankan pada lokasi (Desa), waktu (Kala) dan kondisi (Patra) dimana awig-awig itu disepakati. MUDP selalu menekankan kepada saya tentang kesepakatan ini. Bukan persetujuan, bukan penetapan, tapi kesepakatan.
Bila kta menoleh ke dunia nyata, terselenggaranya pembangunan yang sangat massif di Provinsi Bali khususnya di Bali Selatan dimungkinkan oleh 2 hal (terkait dengan posisi desa adat) :
1. Masyarakat desa adat di Kawasan Bali Selatan sangat polos dan menerima dengan tangan terbuka akan pembangunan yang terjadi.
2. Konflik laten, dimana keluhan yang ada tidak disuarakan melainkan dipendam dalam hati karena mereka (masyarakat desa adat) sadar bahwa pembangunan itu dilakukan di atas lahan berstatus hak milik.

#Awig-Awig Desa Adat di Mata Hukum Formal
Lalu bagaimana posisi hukum adat di mata hukum formal yang berlaku? MUDP mengatakan bahwa dalam UUD 1945 disebutkan bahwa negara hanya mengakui keberadaan desa adat selama eksistensinya masih ada di dalam negara. Sebatas mengakui saja, bukan menjadikan hukum adat sebagai instrumen hukum formal. Oleh karenanya hukum adat tidak memiliki kekuatan hukum di mata negara.
Apabila terjadi sengketa antara desa adat dengan siapapun di luar anggota desa adat, posisi desa adat sangat lemah, terlebih sengketa lahan yang telah menjadi hak milik. Oleh karenanya saat ini tengah diperjuangkan (oleh MUDP) agar desa adat memiliki posisi hukum yang lebih kuat khususnya dalam mengahadapi sengketa lahan di dalam wilayah desa adat tersebut. Apalah artinya desa adat apabila di dalam wilayahnya sendiri dia tidak memiliki kekuatan secara hukum dalam mengintervensi pembangunan ataupun meredam konflik.
Kelemahan-kelemahan di atas yang menjadi salah satu celah terjadinya pembangunan yang sangat massif di Bali Selatan. Seandainya desa adat memiliki kekuatan hukum dalam mengendalikan pembangunan di dalam wilayahnya, mungkin saja wajah pembangunan Bali Selatan tidak seperti saat ini. Keresahan inilah yang diutarakan oleh Bendesa Adat Kuta, yang bahkan menyebutkan Desa Adat dan awig-awig bukan segala-galanya karena posisi hukum formal lah yang memiliki kewenangan dalam menindak pembangunan yang ada.
Penerapan awig-awig desa adat akan sangat bergantung pada Desa, Kala, Patra Desa Adat tersebut. Apa yang telah saya paparkan di atas bisa jadi tidak ditemui di desa adat lainnya. Apa yang saya paparkan di atas merupakan apa yang menjadi polemik di Desa Adat Kuta. Saya tidak akan menggurui kalian untuk melakukan tindakan tertentu untuk bisa membantu mengurangi atau menutup kelemahan desa adat, karena kembali lagi desa adat merupakan organisasi kesukaan atau kesukarelaan, bukan paksaan. Saya hanya ingin berbagi apa yang menjadi fakta empiris implementasi awig-awig di Provinsi Bali. Semoga apa yang telah saya paparkan ini bisa membantu menambah wawasan terkait dengan awig-awig desa adat.

#Karakteristik Awig-Awig
Bersifat sosial religius, yang tampak pada berbagai tembang-tembang, sesonggan, dan pepatah-petitih. Untuk membuat sebuah awig-awig harus menentukan hari baik, waktu, tempat dan orang suci yang akan membuatnya, hal ini dimaksudkan agar awig-awig itu memiliki kharisma dan jiwa/taksu. Awig-awig yang ada di desa pakraman tidak saja mengatur masalah bhuwana alit (kehidupan sosial) tapi juga mengatur bhuwana agung (kehidupan alam semesta). Hal inilah yang mendorong Masyarakat Bali sangat percaya dan yakin bahwa awig-awig ataupun pararem tidak saja menimbulkan sanksi sekala (lahir) juga sanksi niskala (batin).

Bersifat konkret dan jelas artinya disini hukum adat mengandung prinsip yang serba konkret, nyata, jelas, dan bersifat luwes. Kaedah-kaedah hukum adat dibangun berdasarkan asas-asas pokok saja, sedangkan pengaturan yang bersifat detail diserahkan pada pengolahan asas-asas pokok itu dengan memperhatikan situasi dan kondisi masyarakat. Jadi dari sini akan muncul peraturan adat lain seperti pararem sebagai aturan tambahan yang berisi petunjuk pelaksana, aturan tambahan, dan juga bisa saja sanksi tambahan yang belum ada, sudah tidak efektif atau belum jelas pengaturannya dalam awig-awig.

Bersifat dinamis, hukum adat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Ketika masyarakat berubah karena perkembangan jaman, hukum adat ikut berkembang agar mampu mengayomi warga masyarakat dalam melakukan hubungan hukum dengan sesamanya (Sirtha, 2008:152).

Bersifat kebersamaan atau komunal. Dalam Hukum Adat Bali tidak mengenal yang namanya Hakim Menang Kalah, namun yang ada adalah Hakim Perdamaian. Karena Hukum Adat Bali lebih mementingkan rasa persaudaraan dan kekeluargaan. Setiap individu mempunyai arti penting di dalam kehidupan bermasyarakat, yang diterima sebagai warga dalam lingkungan sosialnya. Dengan demikian, hukum adat menjaga keseimbangan kepentingan bersama dengan kepentingan pribadi. Dalam awig-awig desa pakraman menjaga keseimbangan tiga aspek kehidupan manusia merupakan hal terpenting serta inilah yang membedakan awig-awig dengan hukum adat lainnya. Kita ketahui bersama masyarakat Bali dikenal sebagai masyarakat yang memiliki sifat komunal dan kekeluargaan dalam kehidupan kesehariannya, artinya manusia menurut hukum adat setiap individu mempunyai arti penting di dalam kehidupan bermasyarakatmempunyai ikatan yang erat, rasa kebersamaan ini meliputi seluruh lapisan hukum adat (Sudiatmaka, 1994:12).

Karakteristik lainnya dari awig-awig yakni tidak seperti hukum nasional atau hukum barat yang jarang mengakomodir dimensi sosiologis, hukum adat sebaliknya lebih mengakomodir dimensi sosiologis. Dengan demikian, dalam pembangunan hukum nasional, hukum adat menjadi bahan-bahan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, sedangkan lembaga-lembaga hukum adat seperti lembaga keamanan tradisional yang disesuaikan dengan perkembangan zaman dapat digunakan dalam penegakan hukum (Sirtha, 2008:27).
Awig-awig yang hidup dalam masyarakat tidak hanya membedakan hak dan kewajiban melainkan juga memberikan sanksi-sank adat baik berupa sanksi denda, sanksi fisi, maupun sanksi psikologi dan yang bersifat spiritual, sehingga cukup dirasakan sebagai derita oleh pelanggarnya. Sanksi Adat adalah berupa reaksi dari desa pakraman untuk mengembalikan keseimbangan magis yang terganggu. Jenis-jenis sanksi adat yang diatur dalam awig-awig maupun pararem anatar lain :
a. Mengaksama (minta maaf)
b. Dedosaan (denda uang)
c. Kerampang (disita harta bendanya)
d. Kasepekang (tidak diajak bicara) dalam waktu tertentu
e. Kaselong (diusir dari desanya)
f. Upacara Prayascita (upacara bersih desa) (Sirtha, 2008:32).

#Kesimpulan

Awig-Awig Desa memiliki peran yang sangat besar didalam menjaga warisan-warisan adat dari nenek moyang mereka. Awig-awig desa merupakan sebuah peraturan desa yang dibuat dan disepakati oleh para tokoh adat dengan awiq-awiq itulah mereka memberikan batasan dan mengatur orang-orang luar yang belum mengerti tentang adat dan kebudayaan yang mereka junjung tinggi.




Gambar













DaftarPustaka
Semadi, Dewa.2015.Awig-AwigSebagaiProdukHukumAdat di Bali https://www.kompasiana.com/dewa-semadi/awig-awig-sebagai-produk-hukum-adat-di-bali_55d4af69c022bd8711555fc4http://awig-awig.blogspot.co.id/
https://sandywayn.wordpress.com/2015/06/07/awig-awig-desa-adat-pesedahan/
https://dhebotblogbelog.blogspot.co.id/2014/01/awig-awig-dalam-desa-pakraman.html
http://starinvasion.com/sedikit-tentang-awig-awig-desa-adat-di-bali/
https://www.google.co.id/search?q=awig+awig&rlz=1C1TBPT_enID697ID699&tbm=isch&tbo=u&source=univ&sa=X&ved=0ahUKEwim9YHglqTXAhWMQ48KHamlCp4QsAQIOw&biw=1366&bih=662

0 komentar:

Posting Komentar